Perempuan dan Emansipasi

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh

Selamat hari kartini untuk seluruh perempuan di Indonesia 😚😚😚
Yap
Siapa itu Ibu Kartini? Ibu Kartini adalah seorang perempuan yang luar biasa, yang memberi pengaruh besar di Indonesia khususnya bagi kaum perempuan.

Tentunya saya gak perlu menceritakan panjang lebar mengenai sejarah hidup Ibu Kartini, saya yakin kalian pasti juga sudah tahu. Saya hanya bisa bersyukur karena saya lahir di zaman setelah beliau lahir. Karenanya saya bisa bebas bersekolah, kuliah, dan bekerja.

Tapi, bukan itu yang ingin saya utarakan di tulisan saya. Saya tidak ingin menulis mengenai kehebatan yang bisa di lakukan perempuan di zaman ini. Saya juga tidak ingin mengeluh-eluh kan perjuangan kaum feminis untuk kesetaraan gender. Karena sejatinya perempuan dan laki – laki itu memang berbeda.

Saya bukan tidak menghargai para perempuan yang memperjuangkan emansipasi wanita seperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, dan para perempuan hebat lainnya. Hanya saja, saya khawatir.
Emansipasi sekarang ini sudah terlalu berbeda.

Setidaknya menurut saya (atau mungkin saya salah), emansipasi yang diperjuangkan oleh para pendahulu adalah kebebasan untuk meraih pendidikan, agar para perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki laki dalam pendidikan, dan tidak terjebak dalam kebodohan. Karena para perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula, dan karena perempuan adalah pembangun peradaban.

Tapi lihatlah kini. Emansipasi yang kini digadang – gadang adalah perempuan dapat menyaingi laki – laki dalam segala hal. Terlebih dalam segi profesi. Kini satpam tak melulu laki – laki, kini perempuan pun bisa menjadi pemimpin, dan kini bang g*jek pun tak harus laki – laki.

Teringat ketika beberapa minggu yang lalu ketika saya sedang perjalanan pulang dari tempat saya bekerja. Saya melihat seorang ibu sedang mengendarai motor, mungkin usianya diatas 40 tahun dan dia adalah seorang driver ojek online. Hati saya begitu terenyuh, perih sekali rasanya. Hal apakah yang membuat seorang ibu – ibu berusia paruh baya harus menjadi seorang tukang ojek. (Semoga Allah memudahkan urusannya)

Sejujurnya di tempat saya bekerja pun, (atau tenaga kesehatan secara umum) populasi perempuan sangatlah mendominasi. Sedangan kaum lelaki hanya menjadi kaum minoritas.

Kini semua mata bisa melihat, ada perempuan dimana – mana. Mereka bekerja membanting – banting tulang dari pagi buta hingga sore, pun ada yang bekerja hingga larut malam. Semua mata pu melihat para perempuan berdesakan, baik di bus kota maupun di jalan raya. Mereka bertarung dengan kerasnya kehidupan kota, yang sangat riskan bagi kelembutan dihatinya.

Lihatlah anak – anak yang kehilangan ibu-ibu mereka, ibu yang berpendidikan tinggi pun harus merelakan anaknya untuk di didik oleh orang lain. (yang mungkin pendidikannya lebih rendah darinya)
Lihatlah anak remaja yang haus akan kasih sayang, mereka berkeliaran tanpa pengawasan. Kemanakan perginya orang tua mereka (?)

Bukankah menjadi sangat wajar, jika tingkah laku seorang anak kian kemari sangat memprihatinkan.

Pada akhirnya, semua mungkin berasal dari banyaknya perempuan yang memutuskan untuk pergi dari rumahnya, dengan alasan membantu mencari tambahan. Pertanyaannya, siapakah yang lebih wajib mencari nafkah?
Adakah para perempuan lupa tentang kewajibannya sendiri?
Dan, apakah para perempuan lupa siapakah yang memberinya rezeki?
Pekerjaannya, ataukah Tuhannya?

Pada akhirnya, kebanyakan perempuan memutuskan untuk pergi dari rumahnya.

Entah mengapa,
Zaman ini, kebanyakan orang menganggap rendah perempuan yang tetap dirumah dan mengurus anak-anaknya.  Mereka lebih mengapresiasi perempuan yang lelah bekerja diluar rumah dan menganggap remeh perempuan yang lelah mengurus rumah tangga.

Padahal menurut saya tidak demikian. Jika saya sedang liburan, atau jika ibu saya sedang tidak di rumah. Saya melakukan apa yang beliau lakukan dan rasanya sangat melelahkan. Dan saya tahu, menjadi ibu rumah tangga adalah profesi  yang sangatlah luar biasa. Terlebih, sebagai seorang anak pun saya merasakan kasih sayang yang sangat melimpah.

Hanya karena para ibu di rumah tidak menghasilkan uang, seringkali mereka di anggap remeh. Mengapa bisa demikian?
Mungkin karena kebanyakan orang masih menilai, bahwa rezeki itu dari pekerjaan dan rezeki itu berupa uang.

Lalu bagaimana seharusnya saya dan Anda harus bersikap? Entahlah, saya pun masih mencari jawabannya.

Meski paham saya bertolak belakang dengan kaum feminis, tapi saya akui saya adalah seorang gadis biasa dan saya adalah seorang pekerja. Berhimpitan dengan hiruk pikuk ibukota adalah alasan klasik demi mengamakan ilmu dan menyenangkan hati kedua orang tua saya.

Adapun dari dalam hati kecil saya, saya hanya ingin menjadi hamba yang patuh pada RabbNya, dan anak yang berbakti kepada orang tua. Semoga Allah memberikan saya jalan yang lebih baik dari pada ini. Aamiin

Sekian~

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh

1 Comentarios