30 days Social Media Detox

Bismillah, halo sahabat pembaca budiman yang semoga Allah rahmati, selamat datang di blog aku yang sederhana ini. Semoga Allah mudahkan urusan kita semua yaa.. aamiin.

Tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak akan membagikan cerita pengalaman naik gunung karena memang sedang off sementara untuk fokus menyelesaikan studi. Mohon doanya semoga penelitian dan skripsi aku diberi kemudahan dan kelancaran, aamiin. In syaa Allah kalau semuanya sudah beres, aku akan kembali menggunung lagi. Hehe 

Sumber : rizafirli(dot)com

Seperti judulnya 30 days social media detox, aku akan membagikan pengalaman aku mengenai 30 hari tanpa media sosial. Disclaimer, social media yang dihilangkan disini hanya instagram dan twitter. Sementara untuk WhatsApp, Telegram, Youtube dan Gmail aku masih menggunakan seperlunya.

Aku mulai off menggunakan instagram dan twitter sekitar akhir Desember 2022, setelah menonton review buku mengenai Digital Minimalism.

 

Yap, jujur saat itu memang sudah cukup jenuh dengan kehidupan sosial media, tapi disaat yang bersamaan sosial media itu seperti candu yang membuat pola hidup menjadi tidak sehat. Seperti terlalu sering mengecek handphone padahal gak ada yang ngechat juga, berlama-lama di sosial media, sampai mendistrak tugas yang harus dilakukan.

Disamping itu, derasnya arus informasi di media sosial menyediakan berbagai informasi yang sebenarnya tidak kita perlukan. Seperti kehidupan sosial orang yang tidak kita kenal, pencapaian orang lain, informasi terbaru mengenai artis dan keluarganya, kasus pembunuhan, perselingkuhan, perceraian, joget tiktok, mukbang, buang-buang makanan, pamer kekayaan, kesombongan, hujatan, sampai kelakuan dan ucapan tidak jelas yang dilakukan oleh orang yang ingin mencari atensi di  dunia maya.

Apakah aku membutuhkan itu semua? Tentu tidak.

Tapi kita bisa  mengetahuinya baik sengaja maupun tidak hanya dengan satu sentuhan jari.

Sebagai seorang introvert, berlama-lama disosial media membuat aku sering kehabisan energi. Mungkin itulah salah satu penyebab aku tetap membutuhkan banyak ruang untuk sendiri meskipun aku sudah terlalu lama sendiri.


Meski tidak dapat dipungkiri, manfaat dari social media juga banyak sekali. Banyak informasi dan pengetahuan yang bisa kita dapat dengam mudah tanpa harus membeli lebih banyak buku. Seperti Ilmu agama, psikologi, relationship, finance, self improvement, memasak, olahraga, dan banyak lagi. 

Tapi ya tetap saja, meski dengan segala kelebihannya. Sesuatu yang kita gunakan secara berlebihan itu nggak baik. Sama seperti kebanyakan melihat medsos, yaa nggak baik juga. Kabar baiknya, kita sadar  ketika kita lebih banyak menghabiskan waktu di sosial media, itu akan memberikan impact yang tidak sehat untuk kehidupan kita di dunia nyata.

Contoh kecil, sikap anti-pati sebagian orang ketika melihat suatu kejadian atau musibah yang bukannya segera memberi bantuan tetapi malah sibuk memvideokan kejadian itu sendiri.

Atau pada aku sendiri, ketika berbicara dengan seorang teman, aku jarang saling bertatap, terkadang kita sibuk menatap layar masing-masing dan hanya sesekali menoleh. Pada akhirnya aku lupa, bagaimana adab saat berbicara dengan orang lain.

Ketika makan pun, tak jarang diri aku lebih sibuk menatap layar handphone dibanding menikmati makanan itu sendiri. Sekarang pun setelah belajar mindfulnes dan membaca buku diet, aku baru mempelajari cara makan yang baik. Seperti tidak bermain smartphone saat makan untuk menciptakan fokus pada indra pengecap, mengunyah lebih banyak untuk memudahkan lambung dalam bekerja dan mengirim sinyal ke otak, bahkan boleh sesekali memejamkan mata dan makanan itu akan terasa lebih enak dari biasanya.

Such a beautiful life, hanya dari belajar makan tanpa pegang smartphone.

 

Kembali lagi seperti yang sebelumnya aku katakan, setidaknya kita sadar bahwa ada yang salah dengan pola hidup kita karena terus terpapar media sosial. Ketika kita menyadari ada sesuatu yang salah, maka kita bisa berusaha untuk memperbaikinya. Salah satu caranya adalah dengan mereset ulang otak kita dengan menepi sejenak dari media sosial.

Detoks media sosial bisa dilakukan kapanpun saat kita butuh, dan waktunya pun tidak harus 30 hari. Bisa 3 hari, 7 hari, 2 minggu, 30 hari atau bahkan lebih, sesuai waktu yang dibutuhkan untuk menepi sejenak dari keributan dunia maya.

Aku sendiri memilih 30 hari untuk berhenti dari media sosial, karena memang aku belum pernah berhenti selama itu. Dan apa yang terjadi?

 

Diawal aku merasa aneh, karena bangun tidur terbiasa dengan mengecek smartphone, namun kali ini aku hanya akan mengecek smartphone di jam 7 pagi.

Ketika pekan pertama aku tidak punya media sosial yang bisa aku cek, disaat itu coping mechanism aku adalah melihat marketplace. Dan yaa bisa ditebak, saat itu aku cukup banyak melakukan chek out barang. Hehehe

Namun, seminggu setelah itu, aku merasa lebih produktif dan lebih bisa menikmati hidup aku hanya dengan meletakan smartphone. Dan pada akhirnya pada hari ini selesai sudah 30 hari aku off dari media sosial. Alhamdulillaah rasanya lebih plong, lebih fresh, hahayy.

 

Terus timbul pertanyaan nih di dalam diri, lanjut off instagram atau back to normal? Jujur aku udah nyaman hidup tanpa insta story apapun, dan gak peduli kehidupan orang lain. Mengingat sebuah quotes ‘Hidup bukan untuk membuktikan apapun, kepada siapapun’ yang membuat aku ngerasa mau out dari media sosial. Tapi ga bisa di pungkiri juga banyak banget informasi bermanfaat, ditambah aku juga senang banget bisa sharing bacaan dan melihat review buku orang lain.

Namun ibarat dua sisi mata uang, media sosial dan aku ini memang cukup love-hate relationship ya. Karena terkadang aku secara tidak sadar melihat cermin di media sosial, yang aku bandingkan dengan diri aku sendiri. Apalagi diusia yang sudah 27 tahun, melihat teman menikah, punyak anak ke-1, anak ke-2 udah kayak makanan sehari-hari. Yang.. Sorry I can’t relate, dan disatu sisi bikin aku sedih.

Maaf ini bukan iri dengki/hasad, karena hasad itu menginginkan kenikmatan yang ada pada orang lain hilang. Sedangkan yang aku rasain ya murni karena perasaan sedih aja, mungkin karena aku tipikal orang yang melankolis jadi mudah untuk merasa sedih.

 

Again and again, ini bukan salah siapapun karena media sosial memang di desain seperti itu. Tempat berbagi kehidupan sosial, pribadi, momentum bahagia, hobi yang disukai, tempat-tempat indah, dan banyak hal. Semua tergantung dari cara aku menempatkan media sosial.

At the end, aku masih belum tau akan off terus atau back to normal. Tapi tenang aja beibs, kalau kamu gak bisa menemukan aku di dunia maya kamu bisa temuin aku di dunia nyata, Or just text me on whatsApp I’ll be reply ur message soon.

See you~

0 Comentarios