Diantara Hujan


Ini adalah cerpen yang saya ikut sertakan pada lomba IWC (Indonesia Writing Contest). Sebelumnya saya mohon do’anya ; semoga saya terpilih menjadi pemenang dalam kompetisi ini. Amin Allahumma Amin. Saya mohon maklum cerita ini masih jauh darisempurna. Tapi, selamat membaca:D

Suara gemuruh khas anak sekolah sudah terdengar sejak tadi. Karin hanya sibuk menatap novel dan sesekali melihat jamnya. Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru, seperti biasa, semua anak sibuk membicarakan kelas barunya. Mereka selalu bertanya akan sekelas dengan siapa dan ketika mereka tahu mereka tak satu kelas dengan teman mereka, mereka hanya bisa berteriak. Teriakan itu semakin keras mereka sekelas dengan pria idaman ataupun pria tertampan di sekolah.
“Duh.. lama banget sih mano..” gerutu Karin sambil melihat jamnya.
“KARIIIIN!!!” terlihat Mano melambaikan tangannya dan segera berlari menuju Karin yang sudah menunggu di taman sejak tadi “Maaf Rin, tadi angkotnya mogok. Maaf ya cantiik… hehe” Sambil mencubit – cubit Karin yang sudah hampir merongos.
“Traktir gue baso! Bodo!” Karin dengan gaya yang ke kanak – kanankan sambil melipat kedua tangannya dan mengerutkan bibir.
“Ah tuh kan lo mah kesempatan..”  Mano mendorong Karin tak sengaja sampai Karin terjatuh
“Aduh….!!”
“Karin, Karin maaf Karin. Aduh, gimana dong nih? Lo gak kenapa – napa kan? Gak sakit kan? Ada yang luka ga? Karin Karin, maaf banget ya..” dengan gaya super hebohnya membuat mata semua orang tertuju pada mereka berdua
“Suttttt.. Diem! Kan gue malu Manooo.. iya gak apa – apa ko. Hehe” sambil membersihkan bajunya ia kembali duduk di samping Mano
“Lo udah liat papan pengumuman?” Karin hanya menggeleng sambil kembali membaca bukunya “Kenapa?”
Karin berhenti membaca bukunya dan menatap Mano “Gue takut kalo harus gak sekelas sama lo Mano.”
“Yaampun Kariin.. Yaudah ayo kita liat.”
Yuuki Karina               XII-A
Manora Amanda         XII-B
Karin hanya bisa menutup mulut “Enggak, ini gak mungkin. Gue gak mungkin gak sekelas sama lo mano. Gue gak mau.”
 “Karin..” Mano hanya menatap lirih Karin, iya tahu Karin tidak terima. Ia ingin menghibur, tapi ia pun tak mau jika ia harus berpisah dengan sahabatnya itu. Apalagi Karin adalah orang yang sangat susah bersosialisasi. Sebelum berteman dengannya, Karin hampir selalu di ejek oleh teman – temannya sebagai manusia anti – sosial.
“Gue mau ke ruang guru dulu Mano,”  Karin hampir menangis, ia tak tahu sebabnya, tapi yang jelas ia tak ingin berpisah dengan sahabatnya. Apalagi mencari teman baru.
Karin berlari menuju ruang Kepala Sekolah. Tanpa permisi, tanpa basa basi “ Om, apa kelasnya gak bisa dituker lagi?”
“Maaf Karin, ini sudah keputusan bersama di rapat guru kemarin.”
“Tapi kemarin om janji bakal nempatin aku di kelas yang sama bareng Mano, ke..na..pa,, sekarang be..da.. om?” Dengan kata yang terbata-bata Karin menatap Adik dari ayahnya dalam – dalam.
“Itu usul guru Bimbingan Konseling Karin, dia ingin kamu juga bisa bersosialisasi, bukan Cuma dengan Manora. Di sekolah yang sebesar ini harusnya kamu punya banyak teman Kariin..” Sebagai paman, Janitra tentu tidak tega melihat keponakannya menangis. Tapi ia adalah Kepala Sekolah. Bagaimanapun ia hanya berusaha netral.
Karin berjalan seperti tanpa tenaga, ia merasa hampir kehilangan separuh dari kekuatannya. Kekuatannya, berada dalam diri sahabatnya. “Kariin..” Perlahan ada yang memegang tangannya dan sepertinya ia tak asing dengan suara itu. “Lo jangan sedih ya. Kan kelas kita tetep sebelahan. Kalo istirahat kita ke kantin bareng aja. Dan pulangnya juga masih bisa bareng kok. Tenang Karin, kita tetep sahabatan.” Mano berusaha meyakinkan Karin.
“Tapi nanti gue duduk sama siapa?” Karin hampir menangis lagi
“Yaudah ayo kita ke kelas lo. Gue cariin orang yang baik yang bisa jadi temen lo ya.” Mano tetap tersenyum, tapi dalam hati ia berfikir, koridor mulai sepi kemungkinan anak – anak lain sudah memasuki kelas. Ia mempercepat langkahnya
†††
Mano membuka pintu, ada Karin di belakangnya. Semua mata menuju pada mereka berdua. Karin hanya bisa mengalihkan pandangan, ia tak terbiasa menjadi pusat perhatian sementara Mano sibuk mencari bangku untuk sahabatnya. Namun sejak tadi ia melihat, tak ada bangku kosong untuk Karin duduk. Namun Mano menuju bangku ke dua dari depan dekat pintu.
“Jo bangku ini kosongkan?” Tanya Mano pada Ujo. Ujo hanya mengangguk. Mano menarik tangan Karin. “ Karin lo duduk disini ya.”
Karin hanya menatap Mano “ Gue..Gue duduk sama dia?” Karin tahu ia harus benar – benar mendapatkan teman.
“Mmm, iya Rin. Harusnya kita dateng lebih awal, tapi.. Gak papa kok Rin, mereka baik loh. Ini namanya Ujo, dulu kita sekelas sama dia. Jo tolong jagain Karin ya. Awas lo kalo macem – macem!”
“Sss…siii..ppp ddeh ibu bos! hehe” Ujo hanya cengar cengir dengan kata – kata yang hampir selalu terbata – bata.
Karin hanya menghela napas dan segera duduk di bangku itu. Ya sekarang ia duduk bersama Ujo. Karin tahu dia harus terbiasa dengan Ujo. Sekarang mungkin Ujo akan menjadi temannya. Karin kembali membaca buku novel usangnya. “Kka..kaa..rin..”
“Hmm?” Karin hanya berdeham dan sedikit melirik
“Kkka..kamu.. Ssukka baca ya?” Dengan gelagat yang serba ingin tahu, Ujo ingin mengintip judul buku yang Karin baca.
Tapi Karin segera menutupnya. “Emang kenapa?”
“E..enggga.. U..ujo juga su..sukka”
“Suka apaan?” Karin kembali membaca novelnya
“U..ujjoo.. su..sukka.. kkkalo llagi lliat Kkk..karin baca.. hehe”
Karin berhenti membaca, menutup bukunya dan memukulkan buku tersebut ke kepala Ujo “Gue bilangin Mano baru tau lo.”
“E..emmangnyaa kkenapa sih Mmano jaggain kkamu te..terus ? E..emang kkammu gak bissa jagga diri kkammu se..sendirri?”
Karin tercengang, omongan Ujo yang terkesan polos namun menyakitkan, tapi  itu memang ada benarnya juga. Bagaimanapun ia selalu bersama Mano, dan Mano selalu memperlakukannya seperti adik kecil yang harus selalu di jaga. Karin sadar, ia tak bisa bergantung pada seseorang.
†††
Perkataan Ujo terus terngiang – ngiang dalam otak Karin. Ia berusaha mencerna kata demi kata. Ia yakin Ujo hanya berusaha jujur. Karin masih termenung sendirian. Ia bahkan tak sadar jika ada guru yang telah berdiri di depan kelasnya.
E..emang kkammu gak bissa jagga diri kkammu se..sendirri?
E..emmangnyaa kkenapa Mmano jaggagin kkamu te..terus ?
kkammu gak bissa jagga diri kkammu se..sendirri?
Perkataan Ujo semakin membuatnya terasa pening. Ia berusaha memijit kepalanya, tapi seseorang mendorong – dorong lengannya.
“Karin, kamu dipanggil Bu Frida..” Ujo berbisik pada Karin
“Karin…” Panggil Bu Frida
Karin tersadar “Hadir bu..” dengan spontan ia langsung mengatakannya
HAHAHAHAHAHA
Satu kelas menterawakan Karin, ia bingung apa yang salah. “Bukan Karin, ibu bukan lagi nagbsen. Ibu Cuma mau tanya gimana sama teman – teman barunya? Kamu harus bisa lebih bersosialisasi lagi ya..” Ibu Frida  hanya tersenyum. Sekarang Ibu Frida menjadi wali kelas Karin, ya setidaknya Karin tahu kenapa Bu Frida bisa meminta ia dipisahkan dari Manora.
Hari pertama ajaran baru ini hanya diisi dengan perkenalan beberapa guru saja, semua siswa dipulangkan lebih cepat. Tapi Karin dan Mano masih duduk di taman mengahabiskan waktu untuk sekedar bercanda dan tertawa .
“Mano..” Karin menendang – nendang tanah dan sesekali melihat orang yang sedang bermain bola
“Hmm?” Mano hanya bingung melihat Karin
“Gue rasa, gue harus bisa lebih bersosialisasi lagi.  Gue..  gue pengen kayak semut yang punya banyak temen. Yang kalo jalan selalu baris bareng temennya, yang kalo jalan selalu salaman sama temennya, dan lebih lagi.. Temennya bukan Cuma satu, tapi banyak. Gue.. Kira – kira gue bisa gak ya punya banyak temen?”
Mano hanya tersenyum “Kenapa tiba – tiba lo jadi mikir gitu?”
“Enggak papa, Cuma gue harusnya bisa berdiri di atas kaki gue sendiri. Bukan di atas kaki orang lain, apalagi diatas kaki sahabat gue sendiri. Gue gak mau terus ada di belakang punggung lo Mano.. ”
Mano hanya tersenyum dan memeluk Karin, “Gue bakal bantu lo. Apapun yang lo minta, bagi gue lo bukan Cuma sahabat. Bagi gue lo udah kayak sodara gue.”
“Makasih Mano..”
†††
Hari ini adalah jam pelajaran Fisika. Ya, sudah seminggu Karin menempati kelas baru tanpa Manora sahabatnya. Karin sudah mulai berkenalan dengan teman samping kiri dan belakang tempat duduknya.  Karin sendiri merasa bosan, karena ia tak begitu menyukai hitung – hitungan. Ia lebih mencintai bacaan, terutama novelnya.
“Ya siapa yang bisa mengerjakan soal – soal di depan ini?” Karin hanya mencoret – coret bukunya, ia benar – benar tidak memperhatikan pelajaran Pak Hagus yang terkenal garang itu. “Yuuki Karina! Maju ke depan!”
Karina tercengang, ia tak sadar jika sejak tadi ia Pak Hagus tahu kalau ia tidak memperhatikan pelajaran. “Ke..kenapa saya pak?”
“Kerjakan soal – soal ini.” Pak Hagus memberi spidol kepada Karin, tapi Karin hanya menggaruk – garuk kepalanya. “Kenapa diam? Ayo kerjakan!” Pak Hagus dengan suara khas bataknya mulai menunjukan taringnya.
“Sssa..ssaya gak ngerti pak..” Dengan nada yang seolah memelas Karin hanya menudukan kepala
“Hhh, Karina.. Karina.. Kalau tidak mengerti kenapa dari tadi tidak memperhatikan ! Siapa yang bisa bantu ?!” Sejenak kelas menjadi hening. Sepertinya tak ada yang mau membantu Karin dari amarah Pak Hagus, bukan tidak mau membantu sebenarnya tapi lebih tepatnya mereka juga takut dimarahi.
“Saya pak.” Tiba – tiba siswa yang duduk paling depan dekat pintu menunjuk jari
“Ya.. Kamu  Rian. Maju ke depan!”
Rian hanya mengangguk dan segera menulis di papan tulis. Karina memperhatikan apa yang di tulis Rian dengan seksama. Setelah Rian menulis di papan tulis ia kembali menjelaskan kepada Karin dengan suara pelan. Karina mengangguk menegerti, ia baru sadar kalau itu adalah pelajaran kelas XI dan ia merasa orang terbodoh yang ada di kelas.
“Bagaimana Karina! Kau sudah mengerti sekarang?” Karina hanya mengangguk tanpa berani melihat Pak Hagus yang super killer itu. “Rian, tolong kau tularkan sedikit kepintaranmu. Dan kamu Karina, jangan sampai kau ulangi perbuatanmu. Tidak memperhatikan pelajaran, disuruh maju ke depan tak bisa pula. Sudah kembali ke tempat duduk kalian.”
Karin dan Rian segera menuju tempat duduk. Karin baru sadar bahwa orang yang tadi membantunya ternyata duduk depan serong kanannya. Sepertinya Karin tak pernah bertemu dengannya.
“Jo.. dia itu anak baru apa bukan sih? Ko gue baru liat?”
“Hmmm.. Kka..kamu mm..mana perrnah merhatiin o..orang. Ddia itu a..anaknya e..emang p..ppinter.. Ta..tapi su..kka me..menyendiri..” Susah payah Ujo mengatakannya dan Karin hanya sibuk memperhatikan Rian.
“Stt..sttt..” Karin memukul pelan bahu Rian, Rian hanya menengok “Makasih ya udah di bantuin.” Karin sambil tersenyum. Tapi, Rian sama sekali tak bereaksi apapun. Ia tidak mengucapkan apapun, apalagi tersenyum. Karin merasa mungkin Rian tidak mendengarnya, ia mencoba mengulang kembali perkataannya dengan sedikit keras “Makasih ya.. Tadi udah bantuin gue di depan”
“Hmm,” Rian hanya berdeham kemudian langsung membalikan badannya kembali. Karin yang melihat tingkah laki Rian yang aneh terlihat bingung dan kesal.
“Dia itu tuli apa ga bisa ngomong si Jo?” Tanya Karin kepada Ujo
“Bbuuk..kkan.. ddii..a eng..ggak ttuli aa..atau gga..ggu, ddiia.. e..emang ja..jarang ngomomg Rrin..”
“Idiiiihh.. Sombong amat jadi orang.” Karin sengaja berbicar lebih keras agar Rian mendengarnya. Tapi, Rian yang memang mendengarnya pun tak bereaksi apa – apa.
Jam bel tanda pulang berbunyi, anak – anak segera membereskan buku mereka dan bergegas pulang. Karin tak semangat menyambut bel pulang sekolah. Biasanya Karin pulang bersama Mano, tapi karena sahabatnya tidak masuk sekolah terpaksa ia jalan sendiri. Cuaca mendung berubah menjadi hujan deras, Karin terpaksa harus berhenti meneduh. Saat Karin meneduh, ia melihat seseorang yang tak asing baginya. Ia melihat Rian sedang menaiki motor bebeknya jalan menuju searah dengan rumahnya. Seingatnya, ia tak pernah melihat Rian berada di dekat rumahnya. Tapi Karin tak memperdulikannya, Karin kembali membaca buku novel usangnya.
†††
Hari ini Karin datang lebih awal dari biasanya, kelas nampak sepi hanya ada beberapa orang saja yang sudah datang. Karin melihat Rian yang sedang sibuk membaca buku Geografi di tempat duduknya.
“Kok baca buku geografi?” Tanya Karin spontan sambil dalam – dalam menatap judul buku tersebut.
“Bukan urusan lo.” Tanpa melihat Karin, Rian tetap saja membaca bukunya
“Galak amat. Biasa aja kali, gue kan Cuma nanya kenapa lo baca buku geografi.Kan gak ada pelajaran Geografi. Hehe” Karin hanya cengar – cengir agar bisa mencairkan suasana.
“Emang harus ada alesannya ya?! Sekarang gue tanya, kenapa lo sering banget baca novel? Padahal gak ada pelajaran yang ada sangkut pautnya sama novel kan!”
Gue pengen akrab doang padahal, kenapa jadi gue yang kena semprot. Huuuh dasar mahluk aneeh Karin mengutuknya dalam hati, ia mencoba bersabar. Ia menarik napas berkali – kali. “Mmm, Rian. Rumah lo di Taman Citra ya?” Karin mencoba mencairkan suasana kembali.
“Kenapa emangnya?” Rian tak juga melihat Karin, ia masih fokus membaca meskipun terganggu dengan pertanyaan – pertanyaan Karin.
“Kemaren, gue ngeliat lo ke arah sana. Rumah lo di sana?” Karin hanya menggigit – gigit bibir, ia tahu mungkin Rian menganggapnya hanya sebagai pengganggu. Rian hanya terdiam, satu menit, dua menit, lima menit, dan sampai sepuluh menit Rian tak juga membuka mulutnya. “Yaudah gue pergi aja deh, sorry ya udah ganggu.” Karin keluar kelas dengan tak bersemangat. Usahanya untuk mendapatkan teman baru gagal lagi.
Setelah bel masuk berbunyi Karin memasuki kelas, semua nampak sibuk menuju tempat duduk masing – masing. Karin melihat Rian yang masih membaca buku. “Kk..kariin.. Ce…cemberut a..aja ppagii – pagi..” Sapa Ujo dengan ramah
Karin hanya sedikit tersenyum “Lo liat Mano gak Jo?”
“E..engggak ka..kayanya. E..emmang ke..kenappa siih? Lllo.. gggak bbbissa hidup ta..tanpa ddiaa? Lllo.. bbbu.bukan ppenyuka sssesamma jjenis ‘kkan?”
Pertanyaan Ujo sontak langsung membuat Karin tertawa “Ya enggak lah Jo. Gue bukan suka sama dia. Tapi bagi gue, dia berarti banget. Dia sahabat yang paling berarti buat gue. Temen atau sahabat gue ya Cuma dia doang sejak gue pindah di sini.”
“O..ooh, Uujo kkira..hehe” Ujo hanya cengengesan karena malu akan pertanyaanya sendiri.
“Lo enak Jo, punya banyak temen. Gue.. nyari temen satu aja susah” Karin mengingat kembali kejadian tadi pagi.
“Mmmakanya Kkariiin.. Ja..jangan baca nnovel terrus…”
“Lah? Emang apa hubungannya?” Karin hanya menaikan alisnya dan mereka berdua tertawa bersama.
†††
Sepanjang waktu istirahat Karin menunggu Mano di bangku taman. Hingga sampai Bel tanda masuk kembali berbunyi, ia tak juga melihat Mano. Karin bergegas menuju kelas. Hujan deras mengguyur sekolah itu selama pelajaran berlangsung. Hujan terus mengguyur sampai pelajaran di sekolah selesai. Karin tak yakin ia akan pulang tepat waktu, Karin akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin untuk sekadar menghangatkan diri.
“Teh hangatnya  satu ya bu..” Karin kembali duduk, ia sengaja memilih tempat yang agak sepi karena ia tak suka keramaian. Ia kembali membaca novel usangnya, tak lama kemudian ibu kantin memberikan minuman untuk Karin dan untuk orang yang sedang makan di sebelahnya. Karin terus membaca bukunya, sampai ia melihat ada dua orang gadis heboh.
Dasar cewek – cewek rembo (rempong bo’) Umpat Karin dalam hati. Tapi ia tak peduli dengan kehadiran dua gadis heboh itu, ia kembali membaca novelnya.
“Haiii Riaan….” Ucap kedua gadis itu serempak. Karin tercengang, apa mungkin orang yang sedang duduk berjarak tiga puluh senti darinya ini adalah orang yang selalu bersikap dingin padanya.
Mungkin itu Rian yang lain, emangnya disini Cuma ada satu nama Rian. Lagian masa orang dingin  kayak Rian dideketin cewek – cewek rembo itu sih. Matanya memang menuju kepada buku yang di pegangnya tapi, otaknya terus bertanya siapa yang berada di sampingnya.
“Kamu disini lagi makan apa? Kok sendiri? Mau aku temenin gak?”
“Rian..Rian.. Nanti mau gak anterin aku pulang?”
“Jangan Rian pulang bareng aku aja, kan rumahnya searah sama kamu.”
“Ih, apaan sih Ta! Rian tuh maunya pulang bareng gue. Iya kan’ Rian?” Mereka berdua silih berganti bertanya, tapi tak satupun ada yang di jawab. Suasana berubah menjadi sepi.  Karin semakin yakin jika orang yang berada di sampingnya adalah Rian yang dikenalnya. Karin perlahan menurunkan buku dari wajahnya. Ia perlahan mengintip dari bukunya. Bukan penyamarannya menjadi senyap tapi malah terdengar seperti suara buang angin dari mulut Karin. Karin hanya menutup mulut, seketika dua orang gadis itu langsung menatap sinis Karin.
Karin hanya berusaha membaca novelnya kembali. Tapi apa daya penyamarannya sudah terbongkar, gadis itu menghampirinya dan menurunkan novel dari wajahnya “Maksud lo apa ketawa? Lo ngetawain kita?”
“Dia mau temenan kali Ta sama kita. Dia kan anaknya an-sos! Anak kayak dia mana punya temen ! Lagian….” Belum sempat Winda meneruskan perkataannya, tiba – tiba Rian menggebrak meja.
“KALO DIA GAK PUNYA TEMEN EMANG KENAPA?! MASALAH LO APA?!”
Sejenak kantin menjadi sangant mencekam, kedua gadis itu seperti tersambar petir jutaan MegaWatt. Belum sempat kedua gadis itu berbicara, Rian langsung menarik tangan Karin. Ia langsung membayar minumannya dan minuman Karin. Karin yang masih terkejut pun tak bereaksi apa – apa saat Rian mengajaknya pergi.
Tapi hujan masih begitu deras, Rian yang semula menggengam pergelangan Karin berubah menjadi Karin yang menggenggam pergelangan tangannya. “Kita mau kemana? Masih ujan.” Sejenak kaki Rian berhenti, tanpa mengatakan apa – apa Rian kembali berjalanan. Karin kembali menarik tangan Rian “Ih, mau kemana ! Lepasin gak tangan gue.”
Rian seketika melepas genggamannya “Lo gak perlu takut, gue gak mau ngapa – ngapain lo kok.” Rian terus berjalan
Gimana gue gak mau takut, lo-nya aja nyeremin gitu, ngomong aja enggak. Hhhh, Karin mengumpat dalam hati, tapi apa boleh buat ia tetap mengikuti Rian dari belakang. Perlahan Karin mengetahui tujuan Rian. Tapi ternyata setelah masuk perpustakan Rian tidak langsung duduk ataupun mencari buku, ia malah menuju ke pintu belakang perpustakaan. Dan ternyata ada sebuah balkon yang tertata cukup rapi dengan beberapa tanaman.
Rian hanya berdiri dan menghirup udara yang diselimuti hujan secara perlahan. “Setiap hujan, gue suka kesini.”
Karin melongok ke bawah lalu menengok ke atas, ia tak menyangka di lantai dua seperti ini ada taman kecil di belakang perpustakaan. Karin mulai menikmati hujan, menghirupnya lalu melepaskannya. “Kenapa lo marah waktu dua cewek rembo itu ngejek gue?” Tiba – tiba suasana yang hening menjadi semakin terasa canggung. “Ya..ya.. gue tau pasti lo gak bakal jawab pertanyaan gue. Lo bakal selalu diem untuk pertanyaan – pertanyaan yang gak penting. Ya.. gak pa-pa.” Karin kembali menikmati hujan, kini ia memejamkan mata mengatur napas dan membayangkan jika ia sedang bersama ibunya sekarang.
“Sebenernya sifat lo itu mirip kayak gue.” Kata – kata Rian menghentikan lamunan Karin. “Gue juga susah bergaul, gak punya temen. Dan gue paling sakit hati sama orang yang bilang gue an-sos. Pada dasarnya sifat manusia kan beda – beda, ada yang penyendiri, periang, pemimpin, santai. Mereka gak bisa nge-gudge kita kayak gitu. Yaa.. sebagai sesama gue juga merasa terhina lah.”
Karin hanya melongo melihat Rian, ia kemudian bertepuk tangan dan menyalami Rian bukannya meresapi kata – kata-nya “Sumpah ya gue baru denger lo ngomong sepanjang itu. Selamat.. Selamat..”
Rian hanya menggelengkan kepalanya. Karin kembali membaca novel usangnya, sampai akhirnya hujan mulai mereda.
“Hujannya udah berhenti, ayo pulang.” Karin memegang lengan Rian, Rian yang kaget hanya melihatnya tanpa berkata apa – apa. “Oh, sorry. Gue gak bermaksud apa – apa.”  Karin langsung melepas genggamannya. Rian pun langsung berjalan menuju tempat parkir sekolah, Karin pun mengikutinya. “Rian, sorry gue duluan ya. Gue soalnya gak bawa motor. Jadi, gue gak ke parkiran. Duluan ya.”
Belum sempat Rian menjawab, Karin langsung berjalan berbalik arah dengan Rian. “Lo bareng gue aja.” Tiba – tiba Rian menggenggam lengan Karin.
“Makasih Rian, tapi gue gak mau ngerepotin lo.”
“Gak, gak ngerepotin.”
Melihat Rian yang selalu bersikap dingin sebenarnya membuat Karin merasa malas, tapi Karin ingin sekali mempunyai teman. Ya, teman yang baik adalah teman yang selalu menerima apa adanya. Akhirnya Karin pulang bersama Rian. Dalam perjalanan pulang, Karin tak berbicara sepatah kata pun ia ingin tahu apakah Rian akan bertanya dimana rumahnya. Sepanjang jalan Rian tak juga bicara, Karin heran sejauh ini memang benar ini jalan rumahnya tapi bagaimana Rian tahu. “Lo gak mau nanya rumah gue?” Rian hanya diam saja. Karin berusaha bicara sedikit lebih keras “Lo gak mau nanya rumah gue?”
Tiba – tiba Rian menghentikan laju motornya, ia menengok kepada Karin “Jangan berisik. Gue gak suka lo berisik.” Rian kembali menjalankan motornya. Karin tercengang, sepanjang jalan Karin hanya mengutuk dirinya, ia merasa malu sekali. Tak lama kemudian mereka sampai di depan rumah Karin.
“Makasih ya, maaf udah ngerepotin. Kok, lo bisa tau rumah gue?” Karin hanya menunduk, ia merasa malu sekali.
Tiba – tiba tangan Rian mengangkat dagunya. Rian menunjuk sebuah rumah. Rumah itu berjarak hanya satu rumah dari rumah Karin. “Itu rumah gue.” Rian langsung menutup helmnya dan langsung menjalankan motornya. Karin hanya memegang dagunya, seumur hidup belum pernah ada yang memegang dagunya seperti tadi Rian memegangnya.
†††
Message from: Manora
Karin, maaf ya.. gue udah gak bisa sekolah lagi.
Sebelumnya gue minta maaf gue gak pernah kasih tau lo
tentang ini. Gue gak mau lo ikutan pusing mikirin gue.
Kata dokter gue kanker otak std.3, maaf ya Karin.
Kalo gue gak bisa ketemu lo lagi yang harus lo tau
 gue sayang banget sama loJ.
Sekujur tubuh karin tiba – tiba bergetar, ia seperti tersambar petir  di siang bolong. Dadanya mulai terasa sesak. Ujo yang melihatnya sontak langsung panik.“Kkkkarin, kkamu ke..kenapa?”
Tapi mapas Karin menjadi semakin tak beraturan. Rian yang melihatnya pun langsung terkejut, ia langsung membawa Karin ke Poli kesehatan yang ada di sekolahnya. Setelah Karin cukup membaik Rian menemui Karin “Kenapa lo kenapa bisa kayak tadi?” Karin yang masih menggunakan bantuan pernapasan hanya memberikan telepon genggamnya kepada Rian. Rian terkejut, ia mulai mengatur napas “Lo mau jenguk dia?” Karin hanya mengagguk dengan tatapan yang penuh harap “Gue anter.”
Mata Karin sontak langsung berbinar – binar, ia langsung membuka selang oksigen dan bangun dari tempat tidur. “Makasih banyak.” Karin tiba – tiba memeluk Rian, Karin hampir menangis tapi Rian tak bereaksi apapun “Sorry, gue gak bermaksud.” Karin berusaha mengusap air matanya.
“Lo nangis gak akan ngubah apapun. Justru dengan lo nangis, lo nambahin beban dia. Lo harus semangatin dia, dan kalo lo mau nyemangatin dia, bukan dengan nangis caranya.” Karin hanya terdiam, tiba – tiba tangan Rian menghapus air matanya. “Tapi dengan senyuman” Rian tersenyum kepada Karin. Baru kali ini Karin melihat Rian tersenyum begitu tulus.
“Rian ayo..” Karin berlari tergesa – gesa sambil menarik tangan Rian “Rian ayo cepet.”
Karin terus hampir berlari sambil tetap menggenggam tangan Rian “Karin! Stop!” Rian memanggil Karin tapi Karin terus berjalan “Karin!” Tiba – tiba Rian menarik tangan Karin “Karin ! Calm Down!
“Gimana bisa gue tenang?! Temen gue sekarat terus lo pikir gue masih bisa tenang?!Hah?”
“Lo pikir dengan lo tergesa – gesa semua akan berjalan baik – baik aja?!” Sejenak suasana koridor yang ramai berubah menjadi tegang, semua mata anak – anak tertuju pada mereka berdua. Karin hanya menunduk, ia tak suka menjadi pusat perhatian. Rian yang tak perduli langsung menggenggam tangan Karin dan berjalan menuju tempat parkir.
Sepanjang perjalanan Karin hanya terdiam, Karin tahu Rian hanya bermaksud baik lagi pula ia tak ingin bertengkar di saat – saat seperti ini. Sesampainya di depan rumah Mano, Karin tercengang tubuhnya bergetar. Ia mulai turun dari sepeda motor, kakinya terasa lemas, tangannya mendekap mulutnya berusaha untuk tidak berteriak. Karin berjalan perlahan, ia berharap ketakutan terbesarnya tak akan pernah terjadi. “Gak.. Ini gak mung..” Karin jatuh pingsan ketika melihat seseorang membawa bendera kuning.
“Karin!” Rian yang berada di belakangnya langsung menggendong Karin di bantu para pelayat yang ada. Setelah beberapa lama Rian berusaha memberikan aroma minyak kayu putih, Karin akhirnya sadar.
Karin hanya memegang kepalanya. Kepalanya terasa pening. “Ini dimana?” Karin berusaha mengingat apa yang terjadi. “Ini kan rumah Mano?” Sejenak Karin terdiam “Mano!! Rian Mano mana Rian? Rian tolong bilang ke gue kalo dia baik – baik aja. Rian, bilang kalo ini semua Cuma mimpi Rian. Rian ini semua boong kan? Rian tolong bilang kalo ini boong” Karin menangis, napasnya terengah – engah. Rian hanya menatap Karin “Rian, ini Cuma mimpi kan?” Karin balas menatap Rian penuh harap. Rian hanya terdiam, ia kemudian menggenggam tangan Karin dan mengajaknya ke pemakaman.
Makam telah sepi dari pelayat, Karin berjalan dengan penuh duka dan tangis. Ia menatap papan nisan dan menyandarkan kepalanya sambil menangis. “Kenapa? Kenapa orang yang gue  sayangin selalu pergi. Kenapa?..”
Rian tiba – tiba memegang bahu Karin “Semua yang hidup pasti akan mati, Cuma waktunya aja yang beda.” Rian mencoba menenangkan Karin.
Tiba – tiba Karin memeluk Rian. “Tapi gue udah kehilangan kedua orang tua gue, terus sekarang gue harus kehilangan sahabat gue satu – satunya. Terus sekarang gue punya siapa? Ini gak adil Rian. Ini gak adil.”  Air mata Karin semakin membanjiri pipinya.
“Tuhan Maha Adil Karin. Lagi pula lo gak sendiri. Ada gue, gue janji gak akan pernah ninggalin lo dan gue bakal selalu jagain lo. Itu janji gue Karin.” Karin hanya bisa sedikit tersenyum mendengar ucapan Rian. “Nah, sekarang jangan nangis lagi. Lo harus ikhlasin Mano, biar dia tenang.” Karin melepas pelukannya ia hanya mengangguk lalu mereka berdua memanjatkan do’a bersama. Rintik hujan mulai terasa kemudian mereka kembali kerumah.
“Makasih ya Rian.” Karin hanya sedikit tersenyum. Perlahan rintik hujan menjadi semakin deras. Hari ini lo bener – bener baik banget sama gue, makasih Rian. Bisiknya dalam hati. Seperti biasa Rian tak mengeluarkan sepatah kata apapun, ia hanya tersenyum kemudian langsung menuju rumahnya.
†††
 “Anak – anak tolong kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian. Ingat ini hanya Try out, tidak akan mempengaruhi nilai kalian.” Bu Ida memberikan penjelasan di depan kelas. Hari ini adalah Try Out Bahasa Inggris ke dua sebelum menuju Ujian Nasional. Karin tentu lebih pandai mengerjakan mata pelajara bahasa dibandingkan dengan hitung – hitungan. Karin selesai dalam waktu tiga puluh menit, sudah berulang kali ia memeriksa jawabannya sampai akhirnya ia merasa bosan dan mencoret – coret kertas soalnya.
“Sttt.. Stt..Kkariin..” Ujo berusaha berbisik memanggil Karin, Karin hanya menengok “Bbbantuin ddong..”
“Yaudah sini mana soal lo gue kerjain.” Karena Ujo berada di samping Karin sudah pasti soalnya pun berbeda. Karin langsung asyik mengerjakan soal Ujo. Setelah Karin selesai mengerjakan, Karin melihat Ujo tersipu malu membaca kertas soal Karin. Karin lupa menghapus tulisannya. “Ujo! Balikin kertas gue!” Karin mulai melototi Ujo
“Bbbagus Kkok..Hehe” Ujo mulai cengar cengir membuat Karin semakin panik, ia tak ingin Ujo salah sangka. Ujo langsung mengembalikan soal Karin, dengan sigap Karin langsung menghapusnya.
“Sini kertas kamu!” Karin tercengang, semua mata tertuju pada Karin. Tiba tiba Bu Ida langsung menarik kertasnya yang belum terhapus bersih.
 “Anak – anak dengerin. Ada yang lagi menyatakan cinta. Ibu bacain ya. Jemarimu tak dapat ku genggam. Tanganmu sulit ku gapai. Pelukmu tak mungkin ku rengkuh. Lalu , aku harus bagaimana? Kamu terlalu sulit untuk dilupakan. Kamu juga terlalu rumit untuk ku jelaskan. Apa yang harus aku perbuat?. Tolong beri tahu aku. Agar aku bisa menggenggam jemarimu .Agar aku bisa merengkuhmu seutuhnya. Agar aku tak perlu ragu saat aku berkata rindu.” Seisi kelas langsung bersorak sorai. Karin hanya terdiam. “Kamu itu perempuan, kenapa nembak cowok? Kamu punya malu gak sih?”
“Bukan bu. Saya gak..”
“Ah sudahlah.. Ibu udah tau anak – anak zaman sekarang kayak gimana. Kamu juga Ujo! Jangan diterima kalo perempuan yang nembak. Kamu juga! Kalo mau nembak cowok jangan pas lagi ujian. Kamu udah selesai kan? Kamu sekarang boleh keluar.” Belum sempat Karin berbicara, ia sudah di persilahkan keluar. Karin pergi menuju taman untuk sekadar menenangkan diri.
“Puisi lo bagus!” Rian hanya menatap Karin dingin.
“Lo gak nyangka kalo itu buat Ujo kan Rian?”
“Bukan atau buat Ujo, bukan urusan gue.” Rian langsung membalikan badannya. “Gue yakin Ujo juga suka kok sama lo.” Dengan nada dingin Rian langsung bergegas pergi.
“Kapan sih lo mau ngerti?” Tiba – tiba ucapan Karin menghentikan langkah Rian. “Kapan sih lo bakal sadar? Lo pikir puisi yang selalu gue bikin itu buat siapa? Lo pikir siapa inspirasi dibalik semua puisi gue?” Rian hanya terdiam, Karin pergi meninggalkan Rian yang berdiri membisu.
†††
 “Rian!”  Ucapan Karin yang dingin mengagetkan Rian yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. “Lo bohong!” Karin yang berjarak sepuluh meter dari Rian tak bergerak sedikit pun. Rian pun tak juga membalikan badan. “Lo bilang lo gak akan pernah ninggalin gue!  Kenapa sekarang lo mau pergi?! Kenapa lo ngajuin beasiswa ke luar negeri Rian? Kenapa?”
“Gue pikir gue gak perlu jelasin alesannya. Semua orang punya hak buat berubah demi masa depannya. Gue Cuma pengen bikin orang tua gue bangga. Bokap gue juga udah meninggal, dan nyokap gue berusaha mati – matian biar gue bisa sekolah. Dan sekarang waktunya gue buktiin bahwa usaha nyokap gue gak sia – sia. Dan gue gak mau hidup gue berantakan Cuma gara – gara gue janji buat terus jagain lo. Lo juga harus berusaha belajar Rin, walaupun orang tua lo udah meninggal, harusnya lo lebih semangat lagi. Liat om lo! Orang yang udah susah payah biayain pendidikan lo. Dan ternyata setiap hari kerjaan lo Cuma baca novel. Apa lo gak pernah berusaha buat gak malu – maluin om lo. Orang tua lo juga pasti sedih Rin kalo ngeliat lo kayak gini terus. Sekarang lo gak punya hak buat ngelarang gue, dan lo. Lo harusnya punya tujuan hidup sendiri Rin. Kadang seseorang perlu perubahan. Dan kadang perubahan itu menyakitkan. Lo harus berubah Karin.” Rian langsung pergi meninggalkan Karin tanpa melihatnya sedetikpun.
Karin terdiam, tubuhnya bergetar, kakinya mendadak lemas. Ia berusaha mencerna perkataan Rian. Apa di mata lo gue sebodoh itu Rian? Emang bener gue bodoh, tapi kenapa bukan lo aja yang bimbing gue? Bisik Karin lirih, memang perkataan Rian, ia harus berubah. Berubah menjadi lebih baik. Karin mengepal tangannya, tubuhnya kembali bergetar Oke Rian. Kalo lo mau gue berubah, gue bakal buktiin gue bisa jauh lebih baik daripada lo! Gue bakal buktiin kalo gue juga bisa dapet beasiswa ke luar negeri kayak lo.
 Karin membulatkan tekadnya dalam hati, sejak kejadian pada hari itu Karin tak lagi berbicara dengan Rian. Karin selalu benci ketika ia melihat Rian, tetapi pada saat itu juga semangatnya untuk belajar menjadi lebih dan lebih giat. Karin selalu berusaha membuktikan bahwa ia juga mampu, ia bukan lagi orang bodoh yang hanya membaca novel.
†††
Semua anak di lapangan sedang Riuh berkumpul, mereka sangat tegang menunggu pengumuman hasil Ujian Nasional. Setelah lama menunggu, akhirnya mereka mendapatkan selembar amplop yang berisi nilai Ujian Nasional. Karin membuka amplopnya, matanya tiba – tiba melotot, tangannya berusaha mendekap mulutnya. Nggak… Ini gak mung…
“Selamat pagi anak – anak, bagaimana dengan hasil Ujiannya? Alhamdulillah saya sangat bersyukur dengan hasil ujian tahun ini. Dan saya akan memberikan selamat pada nilai ujian tertinggi, Yuuki Karina.” Anak – anak langsung bersorak sorai, sebagian bersar mungkin  tak menyangka.
Setelah para siswa membubarkan diri, Ujo menghampiri Karin “Kakriin..Se..selamat yaa. Ooya, kkaamu di..dippanggil kke ruang Keep.Sekk ttuh.” Karin langsung bergegas menuju ruang pamannya tersebut. Karin terkejut ketika ia melihat Rian juga ada di ruang tersebut.
“Selamat siang pak.”
“Ya Karin, silahkan duduk.” Karin duduk di samping Rian. “Karin, sebenarnya sebagai paman, om mau nanya. Ada kedekatan apa kamu sama Rian?”
Karin tercengang, ia tak menyangkan bagaimana bisa pamannya bertanya seperti itu “Nggak, om. Aku gak ada apa – apa sama Rian.”
“Ooh, yasudah gak pa – pa. Sekarang saya sebagai kepala sekolah hanya bingung Karin, ketika Rian mengajukan beasiswa ke luar negeri. Ia juga minta saya untuk mengikut sertakan kamu. Dan lebih parahnya lagi, Rian minta jika kamu harus bisa di loloskan. Jika kamu tidak diloloskan, dan Rian lolos. Rian dengan senang hati akan mengundurkan diri. Tapi saya tidak bisa begitu saja mengikut sertakan kamu, saya memberi syarat kepada Rian, jika ia mau saya mengikut sertakan kamu. Ia harus bisa merubah kamu menjadi lebih giat belajar.” Karin tercekat, ia yakin bahwa ia tak salah dengar. “Dan sebagai Kepala Sekolah tentu saya tahu kemampuan kalian berdua. Rian lolos pada tahap seleksi, sementara maaf untuk kamu Karin. Tapi saya juga tidak bisa membiarkan Rian mengundurkan diri begitu saja. Maka dari itu, saya sebagai paman kamu. Akan menyekolahkan kamu di luar negeri juga karena tanggung jawab saya terhadap pendidikan kamu.” Sontak Karin langsung berdiri dan memeluk pamannya. Ia tak tahu harus berterima kasih dengan cara apalagi.
Setelah mereka keluar dari Ruang Kepala Sekolah Karin hanya menatap Rian dengan mata berkaca – kaca. “Makasih Rian, buat semua cara lo yang bisa bikin gue berubah, makasih banyak. I love you.” Tiba – tiba Karin memeluk Rian. Rian tak bereaksi apa – apa ia hanya mengelus rambut Karin, dalam hatinya hanya berbisik I love you too..
TAMAT

0 Comentarios